Rabu, 13 Februari 2013

Sepenggal Cerita tentang Pemilu

Pebruari 2013 nampaknya akan menjadi tahun spesial bagi warga  Jawa Barat. Yah, sebentar lagi, tepatnya tanggal 24 Pebruari, hajatan politik akan berlangsung di Propinsi ini. Sudah beberapa bulan lalu, iklan dan baliho bakal calon kepala daerah hadir menghiasi di setiap sudut kota dan pedesaan di wilayah Jabar. Propaganda, konsolidasi internal partai sampai komunikasi antarpetinggi parpol dan tokoh masyarakat gencar dilakukan. Yah, beginilah tradisi menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada/Pilgub) Pemilihan Legistatif atau Pemilihan Presiden pada umumnya. Hal yang menarik adalah diantara kelima pasangan calon gubernur itu, tiga (3) orang diantaranya adalah adalah dari kalangan artis. Yap, mereka itu antara lain: pasangan nomor urut 3, Yusuf Macan Efendi (Dede Yusuf) dan Lex Laksamana Zaenal, pasangan nomor urut 4, Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar dan yang terakhir, pasangan Rieke Diah Pitaloka dan Teten Masduki.

Disini kita tidak akan membahas soal peluang dan visi misi para calon, hanya sekedar mengambil contoh saja, karena memang penulis bukan ahli dalam bidangnya hehe.. cukup sekedar melihat sisi lain dari perhelatan ini lalu kemudian bercerita sesuai persepsi sendiri. Jadi, sangat dimaklumi jika isinya sangat subjektif :)

            Kembali ke laptop, kita tentu masih ingat tentang Pemilihan Legislatif  tahun (Pileg) 2009 lalu. Hingar bingar kemeriahannya memang telah berlalu, menyusut seiring waktu yang  berganti. Sebagian bergembira sementara yang lain berang karena tak turut dalam memberikan suara. Sekelompok orang menuai untung dan bahagia sedang yang lain merugi dan dirundung sedih berkepanjangan. Ada juga sebagian orang yang tertawa dan yang lainnya menangis memikirkan hutang yang menumpuk, menjadi depresi bahkan memilih untuk bunuh diri.

            Yah, singkatnya, pemilu memang banyak menyisakan cerita. Cerita tentang sebuah kemenangan, cerita tentang kekalahan, kerugian, sedih, gembira, perdebatan dan juga cerita tentang kondisi masyarakat yang oportunis.

            Satu hal yang menjadi perhatian kita adalah tentang caleg dan masyarakat pemilih. Tak salah memang jika seorang caleg begitu besar manaruh harapan dari masa konstituennya, sehingga dengan begitu bersemangat memasang target tentang sebuah kemenangan. Namun, apa yang menjadi harapan tak selalu menjadi kenyataan. Target tak sampai, harapan tak lebih menjadi sebuah angan belaka. Masyarakat pemilih yang menjadi andalan berbelok arah, mempercayakan suara dan masa depannya kepada caleg lainnya. Ini tentu sebuah ironi meski tak harus membuat kita berpikir  pragmatis.

            Seorang teman yang juga merupakan caleg dari salah satu partai Islam pernah mengeluhkan hal ini. Dengan segudang keprihatinan dia mengeluhkan sikap masyarakat pemilih yang begitu gampang dipengaruhi oleh caleg lain dengan imbalan yang tak seberapa. Dengan nada sedih beliau berkata, “Haruskah metode dakwah dirubah seperti yang diinginkan masyarakat?”. Yang dimaksud caleg tersebut, haruskah menempuh cara-cara kilat atau mungkin boleh dianggap kotor dengan membagi-bagikan bingkisan atau amplop berisi uang beberapa ribu rupiah sesaat sebelum berlangsungnya pemilu?

            Ini merupakan realitas yang patut disayangkan. Sebuah sikap oportunis, dimana masyarakat masih menganggap bahwa pemilu merupakan saat yang tepat untuk menuai keuntungan. Dalam persepsi masyarakat awam yang serba kekurangan, hal semacam ini adalah wajar, maka pantas mereka mau menjual suaranya kepada caleg berduit. Bahkan di salah satu daerah di jawa timur, masyarakat setempat rela bergadang di malam hari menjelang pemilu hanya untuk menunggu serang fajar dari tim sukses para caleg.

            Pemilu memang berbicara tentang masa depan negeri, tentang sebuah perubahan dan perbaikan. Tapi masyarakat hidup saat ini, butuh makan-minum. Dan apa yang mereka inginkan tidak lebih sekedar cerita lain untuk melewati hari-hari yang serba kekurangan. Kalau bukan saat ini untuk bersikap oportunis, maka siapa lagi yang mau membantu mereka melewati hari-hari pahitnya? Dengan kondisi seperti ini pantaskah masyarakat menjadi biang kesalahan?

            Bahkan yang patut menjadi bahan renungan bagi para caleg terlebih dari pribadi atau partai yang menjunjung tinggi akan nilai islam, bahwa ini merupakan sebuah tempaan kolektif dari Allah. Bahwa pemilu merupakan sarana mengukur kesabaran, bahan koreksi, standar penilaian keberhasilan dakwah juga sekaligus ujian mental bagi para caleg antara ambisi meraih jabatan dengan keikhlasan menjalankan misi dakwah di parlemen.

            Seharusnya tak perlu merasa sedih dan risau berkepanjangan. Seharusnya tak perlu berpikir untuk mengikuti cara-cara kotor yang ditempuh caleg/partai lain. Seharusnya seorang caleg menyadari bahwa pasti ada saatnya dimana Allah hendak menyaring para hambaNya, antara mereka yang teguh dan istiqomah dengan mereka yang sekedar ikut-ikutan. Juga seharusnya seorang muslim, caleg maupun kader dakwah meyakini bahwa kuantitas tak harus menjadi ukuran tentang sebuah keberhasilan. Jika Allah berkehendak, yang sedikit akan menjadi kuat dan solid. Bukankah itu lebih baik dari pada banyak tapi lemah dan cerai-berai?

            Kepada para caleg yang gagal dalam pemilu saat itu, tawakalah, serahkan semua kepada Yang Maha Bijak karena mungkin ini adalah cara terbaik Allah mengajari anda tentang arti sebuah keberhasilan atau mungkin Allah ingin menyelamatkan anda fitnah jabatan karena kurangnya kesiapan untuk menerima amanah tersebut.  
                                                                                                  
            Juga kepada caleg yang lolos menapaki tangga legislatif, ini bukan kemenangan tanpa akibat. Keberhasilan di pemilu sejatinya mengurangi jatah waktu tidur anda oleh karena beban masalah rakyat yang mesti diselesaikan. Ini juga bukan kemenangan tanpa resiko, karena semua masalah rakyat kelak akan dihadapkan kepada anda untuk dipertanggungjawabkan.

            Ini cerita lain tentang pemilu 2009, tentunya hingar bingarnya takan sama seperti Pilgub Jabar. Tapi, jalur cerita bisa dipastikan sama. Sebuah kesamaan akan terlihat jelas dalam bingkai ambisi dan harapan. Antara bualan dan idealisme. Antara janji dan angan. Antara pengorbanan dan spekulasi. Juga antara tertawa gembira dan kesedihan.
Siapakah sang pemenang itu? Kita akan lihat nanti :) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar