Pebruari 2013 nampaknya akan menjadi
tahun spesial bagi warga Jawa Barat. Yah,
sebentar lagi, tepatnya tanggal 24 Pebruari, hajatan politik akan berlangsung
di Propinsi ini. Sudah beberapa bulan lalu, iklan dan baliho bakal calon kepala
daerah hadir menghiasi di setiap sudut kota dan pedesaan di wilayah Jabar. Propaganda,
konsolidasi internal partai sampai komunikasi antarpetinggi parpol dan tokoh
masyarakat gencar dilakukan. Yah, beginilah tradisi menjelang Pemilihan Umum
Kepala Daerah (Pilkada/Pilgub) Pemilihan Legistatif atau Pemilihan Presiden pada
umumnya. Hal yang menarik adalah diantara kelima pasangan calon gubernur itu,
tiga (3) orang diantaranya adalah adalah dari kalangan artis. Yap, mereka itu
antara lain: pasangan nomor urut 3, Yusuf Macan Efendi (Dede Yusuf) dan Lex
Laksamana Zaenal, pasangan nomor urut 4, Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar dan
yang terakhir, pasangan Rieke Diah Pitaloka dan Teten Masduki.
Disini kita tidak akan membahas soal
peluang dan visi misi para calon, hanya sekedar mengambil contoh saja, karena
memang penulis bukan ahli dalam bidangnya hehe.. cukup sekedar melihat sisi
lain dari perhelatan ini lalu kemudian bercerita sesuai persepsi sendiri. Jadi,
sangat dimaklumi jika isinya sangat subjektif :)
Kembali ke laptop, kita tentu masih ingat tentang Pemilihan
Legislatif tahun (Pileg) 2009 lalu. Hingar bingar kemeriahannya memang telah berlalu, menyusut seiring waktu
yang berganti. Sebagian bergembira
sementara yang lain berang karena tak turut dalam memberikan suara. Sekelompok
orang menuai untung dan bahagia sedang yang lain merugi dan dirundung sedih
berkepanjangan. Ada
juga sebagian orang yang tertawa dan yang lainnya menangis memikirkan hutang
yang menumpuk, menjadi depresi bahkan memilih untuk bunuh diri.
Yah, singkatnya,
pemilu memang banyak menyisakan cerita. Cerita tentang sebuah kemenangan,
cerita tentang kekalahan, kerugian, sedih, gembira, perdebatan dan juga cerita
tentang kondisi masyarakat yang oportunis.
Satu hal yang
menjadi perhatian kita adalah tentang caleg dan masyarakat pemilih. Tak salah
memang jika seorang caleg begitu besar manaruh harapan dari masa konstituennya,
sehingga dengan begitu bersemangat memasang target tentang sebuah kemenangan.
Namun, apa yang menjadi harapan tak selalu menjadi kenyataan. Target tak
sampai, harapan tak lebih menjadi sebuah angan belaka. Masyarakat pemilih yang
menjadi andalan berbelok arah, mempercayakan suara dan masa depannya kepada caleg
lainnya. Ini tentu sebuah ironi meski tak harus membuat kita berpikir pragmatis.
Seorang teman yang
juga merupakan caleg dari salah satu partai Islam pernah mengeluhkan hal ini.
Dengan segudang keprihatinan dia mengeluhkan sikap masyarakat pemilih yang begitu gampang dipengaruhi
oleh caleg lain dengan imbalan yang tak seberapa. Dengan nada sedih beliau
berkata, “Haruskah metode dakwah dirubah seperti yang diinginkan masyarakat?”.
Yang dimaksud caleg tersebut, haruskah menempuh cara-cara kilat atau mungkin
boleh dianggap kotor dengan membagi-bagikan bingkisan atau amplop berisi uang
beberapa ribu rupiah sesaat sebelum berlangsungnya pemilu?
Ini merupakan
realitas yang patut disayangkan. Sebuah sikap oportunis, dimana masyarakat
masih menganggap bahwa pemilu merupakan saat yang tepat untuk menuai
keuntungan. Dalam persepsi masyarakat awam yang serba kekurangan, hal semacam ini adalah
wajar, maka pantas mereka mau menjual suaranya kepada caleg berduit. Bahkan di
salah satu daerah di jawa timur, masyarakat setempat rela bergadang di malam
hari menjelang pemilu hanya untuk menunggu serang
fajar dari tim sukses para caleg.
Pemilu memang
berbicara tentang masa depan negeri, tentang sebuah perubahan dan perbaikan.
Tapi masyarakat hidup saat ini, butuh makan-minum. Dan apa yang mereka inginkan
tidak lebih sekedar cerita lain untuk melewati hari-hari yang serba kekurangan.
Kalau bukan saat ini untuk bersikap oportunis, maka siapa lagi yang mau
membantu mereka melewati hari-hari pahitnya? Dengan kondisi seperti ini
pantaskah masyarakat menjadi biang kesalahan?
Bahkan yang patut
menjadi bahan renungan bagi para caleg terlebih dari pribadi atau partai yang
menjunjung tinggi akan nilai islam, bahwa ini merupakan sebuah tempaan kolektif
dari Allah. Bahwa pemilu merupakan sarana mengukur kesabaran, bahan koreksi,
standar penilaian keberhasilan dakwah juga sekaligus ujian mental bagi para caleg
antara ambisi meraih jabatan dengan keikhlasan menjalankan misi dakwah di
parlemen.
Seharusnya tak
perlu merasa sedih dan risau berkepanjangan. Seharusnya tak perlu berpikir
untuk mengikuti cara-cara kotor yang ditempuh caleg/partai lain. Seharusnya seorang
caleg menyadari bahwa pasti ada saatnya dimana Allah hendak menyaring para
hambaNya, antara mereka yang teguh dan istiqomah dengan mereka yang sekedar
ikut-ikutan. Juga seharusnya seorang muslim, caleg maupun kader dakwah meyakini
bahwa kuantitas tak harus menjadi ukuran tentang sebuah keberhasilan. Jika
Allah berkehendak, yang sedikit akan menjadi kuat dan solid. Bukankah itu lebih
baik dari pada banyak tapi lemah dan cerai-berai?
Kepada para caleg
yang gagal dalam pemilu saat itu, tawakalah, serahkan semua kepada Yang Maha Bijak karena mungkin
ini adalah cara terbaik Allah mengajari anda tentang arti sebuah keberhasilan
atau mungkin Allah ingin menyelamatkan anda fitnah jabatan karena kurangnya
kesiapan untuk menerima amanah tersebut.
Juga kepada caleg
yang lolos menapaki tangga legislatif, ini bukan kemenangan tanpa akibat. Keberhasilan di pemilu
sejatinya mengurangi jatah waktu tidur anda oleh karena beban masalah rakyat yang mesti
diselesaikan. Ini juga bukan kemenangan tanpa resiko, karena semua masalah rakyat kelak akan
dihadapkan kepada anda untuk dipertanggungjawabkan.
Ini cerita lain
tentang pemilu 2009, tentunya hingar
bingarnya takan sama seperti Pilgub Jabar. Tapi, jalur cerita bisa dipastikan
sama. Sebuah kesamaan akan terlihat jelas dalam bingkai ambisi dan harapan. Antara
bualan dan idealisme. Antara janji dan angan. Antara pengorbanan dan spekulasi.
Juga antara tertawa gembira dan kesedihan.
Siapakah sang pemenang itu? Kita akan
lihat nanti :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar