Jika
ditanya pada masyarakat negeri ini tentang Jokowi dan Ahok, tentu sebagian
besar (jika terlalu berlebihan mengatakan semuanya) pasti mengenal keduanya.
Sungguh, popularitas kedua pasangan pemimpin ini mampu menyaingi pasangan
presiden RI atau bahkan melebihi. Sejak genderang kampanye ditabuhkan,
popularitas dan citra positif menempel kuat dalam pasangan ini. Semua mata dan
perhatian orang tertuju pada keduanya, seolah terhipnotis oleh kharismatik dan
kepiawaian yang mengagumkan.
Satu
hal yang menonjol dalam benak penulis tentang seorang Jokowi adalah sikapnya
yang "apa adanya" dan "kesederhanaan" yang begitu kental.
Inilah salah satu hal utama membuat warga Jakarta memilihnya. Di sisi lain,
kehadiran Ahok yang menjadi pasangannya mampu memberi nuansa lain dari fenomena
kepemimpinan. Bagaimana tidak, seorang "cina" mau menjadi pemimpin,
meninggalkan porfesi "istimewa" sebagai pengusaha sukses berganti
menjadi pemimpin yang mengurus setumpuk masalah ibu kota dan jutaan warganya.
Ini tentu menjadi hal yang unik, mengingat jika dibandingkan dengan gaji yang
diperoleh dari seorang pemimpin daerah tidaklah sebanding dengan hasil yang
diperoleh dari perusahaan yang ia miliki. Setidaknya, beginilah anggapan
sebagian besar orang.
Tapi,
sungguhkah seperti itu faktanya? Menjawabnya tentu membutuhkan analisis dan
bukti. Dulu, sebelum keduanya menjadi pemimpin ibu kota, sudah banyak nada
sumbang tertuju kepadanya. Bahkan, salah satu akun kontrovesial di twitter,
@triomacan banyak membeberkan fakta negatif tentang keduanya. Tapi, tetap saja
pada akhirnya merekalah sang pemenangnya.
Bagaimana
dengan sekarang, ketika keduanya tengah menjadi pemimpin ibu kota, sudahkah apa
yang menjadi janji dan harapan keduanya terwujud indah? Masihkah keduanya
tampil hebat seperti yang ditulis oleh media-media yang menjadi
pendukungnya; begitu luar biasanya citra Jokowi-Ahok, sebagai pemimpin baru.
Luar biasa sanjungan dan pujian terhadap kedua kepala pemerintahan DKI ini.
Seakan sebagai orang-orang yang sangat mumpuni, dan akan mengubah seluruh
kehidupan di Jakarta.
Berikut,
hasil kutipan penulis dari situs www.voa-islam.com tentang beberapa janji manis
yang pernah terucap saat keduanya berkampanye.
Kampung Deret
Proyek
yang selalu ditenteng Jokowi pada masa kampanye dulu adalah Kampung Deret atau
Kampung Susun di bantaran kali. Pilot project di bantaran kali Ciliwung itu
akhirnya mengalami naas : tidak jadi dibangun karena menabrak Peraturan
Pemerintah (PP) No. 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air.
Kartu Jakarta Sehat (KJS)
KJS,
seperti yang dikabarkan memiliki kelebihan berupa rekam medis di chip kartu,
persyaratan lebih mudah/tidak perlu surat miskin untuk memperolehnya serta
menghapus strata kelas ruang perawatan dengan otomatis naik ke kelas lebih
tinggi jika tidak tersedia tempat di kelas lebih rendah. Semua keunggulan itu
ternyata tidak didukung oleh kesiapan dana, prasarana, SDM dan perubahan
mentalitas pekerja kesehatan.
Lonjakan
jumlah pasien sekitar 50-100% sudah terasa sejak Nov 12 lalu, namun masih
dipandang sebagai kesuksesan KJS membangkitkan minat berobat masyarakat dan
tersedianya pelayanan kesehatan tanpa pandang bulu.
KJS
bahkan tidak dibutuhkan, banyak Puskesmas yang karena takut dianggap tidak
mendukung program Gubernur baru, atau mungkin takut dimarahi Ahok, menerima
pasien cukup dengan KTP.
Akibat
promosi kencang, euphoria masyarakat tak terbendung. Yang datang bukan hanya
yang benar-benar sakit dan tidak mampu, tapi juga yang sakit tidak benar-benar
serius dan tidak benar-benar tidak mampu; sampai Puskesmas dan Rumah Sakit
kewalahan.
Puskesmas
sampai kelebihan beban dan mendorong pasien ke RS, RS berteriak minta Puskesmas
jangan asal rujuk. Belum lagi lonjakan tagihan yang akibat masalah internal
berupa macam-macam koreksi di administrasi Pemda, sehingga beberapa RS
mengalami kesulitan cashflow.
Puncaknya
adalah peristiwa meninggalnya adik Dera, setelah ditolak 10 Rumah Sakit dengan
alasan ketiadaan NICU dan tempat perawatan.
Ganjil-Genap dan Electronic Road Pricing (ERP)
Penanggulangan
kemacetan dengan sistem Ganjil-Genap yang menjadi isu utama pada Dec 2012 lalu,
akhirnya tidak jalan. Protes berdatangan dari mana-mana, termasuk dari Neta S.
Pane/IPW, karena dianggap titipan ATPM dan merugikan pengguna kendaraan.
Setelah
Ganjil-genap batal, ERP diangkat. Apabila tahun lalu Ahok bilang ERP rumit,
sekarang ini menyimak pembicaraan Ahok, seolah-olah pelaksanaan ERP itu gampang
banget. Tinggal ditenderkan, pembayaran bisa potong rekening, diintegrasikan
dengan pembayaran tilang dan perpanjangan STNK. Kalau mau tahu cara kerja
sistem ERP itu, Ahok bilang tak usah studi banding, tinggal tonton saja di
Youtube. Apa benar semudah itu?
Tampaknya
ERP ini – maaf – akan seperti kentut saja. Heboh sebentar setelah itu hilang
dibawa angin. Banyak sekali masalah ERP yang harus dijawab : bagaimana
memastikan setiap unit mobil yang masuk Jakarta/kawasan ERP memasang dan
mengaktifkan OBU (On Board Unit), apabila Jakarta ini banyak titik masuknya,
bukan pulau dengan akses masuk terkontrol seperti Singapura.
Bagaimana
billing dan collection, dan bagaimana enforcementnya…? Solusi sambil-lalu yang
dijawab Ahok : diskon 50% Biaya Balik Nama untuk pemasang OBU, auto debet ke
rekening, jelas bukan jawaban.
Bagaimana
dengan BPKB yang sudah atas nama yang benar ? Berapa banyak yang bersedia untuk
auto debet rekening ? Di Jakarta ini, banyak pemilik dan pengguna kendaraan
tidak sama dengan nama di BPKB, siapa yang harus ditagih…?
Monorail
Seperti
diketahui, konsorsium pemodal baru Ortus Group sudah masuk ke PT Jakarta
Monorail, tanda-tanda proyek ini akan diaktifkan lagi. Sampai saat ini, Jokowi
berkeras bahwa biaya tiket monorail harus sekitar Rp 8.000 dan Pemprov tidak
akan subsidi, sementara kabarnya hasil perhitungan investor ada di kisaran Rp
40.000. Selisih bukan sedikit, tapi 5x lipat. Jokowi ibarat menawar dengan
sistem Mangga Dua di Sogo Dept Store, yang tidak akan ada titik temunya.
Rusun Marunda
Isu
kosongnya rusun-rusun di Jakarta termasuk di Marunda yang acapkali disebut
‘berhantu’ sudah lama diungkit oleh DPRD sejak tahun 2011. Awalnya adem-adem
saja dan tidak prioritas, tapi begitu Ahok mengalami masalah saat menempatkan
korban banjir Pluit di rusun Marunda, tiba-tiba sang rusun jadi beken abis.
Heboh
sekali, sorotan media massa nyaris setiap hari. Ada kepala rusun langsung
dipecat, ada koboi belitung dan ada pintu yang didobrak..pyar… Setelah
dihadirkan segala macam gratisan mulai dari angkutan, kasur, perabot, TV,
kulkas sampai pijit; kabarnya yang antri membludak. Mirip barisan di depan
kasir supermarket kalau lagi ada cuci gudang.
Apabila
anda menyempatkan diri ke rusun Marunda, akan menjumpai 11 tower tersebut masih
banyak sekali yang kosong, menandakan ada masalah substansial yang masih harus
dibenahi. Bahkan menurut Kompas, ada penghuni rusun yang sudah kabur membawa TV
dan kulkas.
Pelanggaran
jual-beli rusun yang disebut Ahok juga kemungkinan adalah proses/makelar
subkontrak, karena mencari penyewa serius yang komitmen tinggal permanen dan
membayar tidak mudah. Masa sih ada yang mau membeli rusun yang sertifikatnya
milik Pemda ?
Giant Sea Wall (GSW)
Baik
Jokowi maupun Ahok sudah mengakui bahwa ini adalah proyek Foke, maka basisnya
adalah studi yang dilakukan Jakarta Coastal Defense Strategy (JCDS). Dalam
rilis JCDS, ada 3 opsi GSW, dan tampaknya yang dipromosikan Ahok adalah opsi ke
3, yang di dalamnya termasuk reklamasi 3.000 hektar.
Karena
biaya yang tercantum di JCDS sebesar US$ 21Milliar (setara Rp. 200 triliun )
digelembungkan Ahok menjadi Rp. 385 triliun, menunjukkan ambisi Ahok melebihi
Foke.
Ambisi
itu juga ditunjukkan melalui keinginan untuk memajukan proyek ke tahun 2013
dari 2016 yang direncanakan. Padahal opsi 3, menurut JCDS, perencanaan dan
persiapannya begitu kompleks, sehingga realisasinya antara 2020-2030.
Dalam
rencana Foke, GSW dibiayai melalui pinjaman luar negeri, hibah, partisipasi
masyarakat melalui obligasi, APBD dan dunia usaha. Sementara Ahok ingin 100%
GSW itu dibiayai oleh investor, yang disebutnya ‘cukong’; dengan imbalan izin
reklamasi di Pantura Jakarta berupa 17 pulau.
Jika
Foke masih punya etiket, malu menyebut reklamasi, urat malu Ahok tampaknya
sudah putus dengan tanpa ragu menyebut reklamasi sebagai penyelamat.
Sekilas
Ahok terlihat pintar, warga DKI bisa dapat GSW gratis. Tapi apabila disimak
lebih dalam, sebenarnya opsi Foke lebih aman sebab melibatkan pihak luar negeri
dan masyarakat, yang menuntut transparansi, prospektus setebal bantal dan AMDAL
yang jelas.
Sementara
Ahok menyerahkan nasib pantura DKI ke tangan cukong. Apakah rakyat dan para
pengamat akan mendapatkan penjelasan maupun dapat mengawal reklamasi dan
efeknya terhadap hajat-hidup mereka? Wallahualam.
Paling
juga terus berjalan tanpa kendali seperti reklamasi yang sekarang ini, yang
disebut Departemen Lingkungan Hidup merupakan penyebab banjir di DKI dan
amblesnya tanah di Pantura.
Jika
dipikirkan secara logika, akan didapat dari mana tanah dan pasir untuk urukan
17 pulau itu ? Apabila disebut dari galian waduk dan sungai di Jakarta, apa
mungkin ?
Coba
lihat peta DKI di Perda RTRW 2010-2030, berapa besar waduk, sungai, dan berapa
besar rencana reklamasi…? Apakah sebagian pulau Pulau Belitung mau dipindahkan
untuk membangun 3.000 hektar plus ini ? Atau, apakah ini proyek heboh-hebohan
yang hanya akan berakhir senyap seperti yang lainnya?
Ahok : Achilles Heel Jokowi
Setiap
kali Ahok buka mulut di depan wartawan, nyaris tiap kali itu pula menyinggung
pihak lain. Memang di dunia ini ada orang yang merasa perlu mengangkat diri
dengan menjatuhkan/mempermalukan orang lain.
Dulu
kita tak pernah dengar suara Wagub DKI, sekarang Wagub DKI sibuk tebar pesona
menyaingi bossnya.
Belum
lama dilantik, dalam wawancara Gatra Oktober 2011 lalu, Ahok mengatakan Pemprov
(Ahok) harus jadi tuan di atas cukong. Entah apa yang dipikirkan para cukong
saat mendengarnya. Kalimat yang gagah sekali, baik untuk pencitraan namun tak
ada gunanya di hidup nyata.
Sebab
cukong yang dimaksud, sudah jago berbisnis saat Ahok masih bercelana kodok.
Boro-boro Ahok mencabut izin cukong apabila menolak bangun GSW, ternyata Ahok
harus jual izin reklamasi 17 pulau untuk imbalan GSW gratis. Belum apa-apa Ahok
harus pasang badan bagi cukong untuk urusan AMDAL. Tragis, Ahok akhirnya hanya
jadi salesman cukong.
Sikap
Ahok menantang debat soal AMDAL, apabila dilihat dari sejarah panjang
perseteruan Kementerian Lingkungan Hidup dan pengusaha soal reklamasi,
menyakitkan hati bagi Walhi dan para aktivis lingkungan. PDI-P pasti ingat,
Keputusan Menteri LH itu, dibuat pada zaman ibu Megawati. Nabil Makarim adalah
salah satu menteri kesayangannya.
Apabila
Jokowi selalu berusaha membangun hubungan baik dan santun terhadap berbagai
pihak, semua itu dengan mudah dibuyarkan oleh Ahok.
Selain
doyan memarahi anak buahnya, seperti mengancam memecat Lurah apabila ada warga
meninggal saat banjir, gara-gara meninggalnya seorang kakek yang memang sudah
sakit saat banjir di Kampung Pulo.
Menghadapi
Kepsek yang mengingatkan bahwa pemotongan anggaran bisa menurunkan mutu siswa,
malah disergah, supaya siswa super wahid – ente butuh berapa triliun…?
Ahok
belum lama ini, tanggal 17 Feb di Tempo.co, sudah mulai lancang menyebut
atasannya ‘kurang galak’ sambil mengangkat diri dan nyalinya yang berani
memecat siapa saja, kapan saja, dan bahkan siap diPTUNkan.
Pada
saat banjir Pluit, ketika ditanya wartawan dimana keberadaannya sejak 3 hari
yang lalu, dengan seenaknya Ahok nyeletuk soal ‘pulang ke Belitung’. Tidak puas
dengan vendor pengelolaan sampah, malah keluarkan ide asbun seperti menggaji
2000 pemulung Rp 2 juta per orang untuk mengangkat sampah Jakarta. Karena asal
bunyi, ya kini tak ada kabarnya lagi.
Lebih
dari sekali Ahok menyinggung kepolisian. Soal plat mobil, misalnya, Ahok
menginsinuasikan mengenai penjualan plat mobil DKI 2 ke swasta, padahal menurut
kabar plat tersebut sudah sejak lama dipegang Foke.
Untuk
urusan ERP, yang jelas tidak akan berhasil tanpa kerja-sama dari Polda Metro
Jaya; Ahok mengeluarkan lecehan ‘prit jigo prit gocap’. Tingkah laku negatif
Kepolisian harusnya yang menegur adalah atasannya. Ahok adalah kolega, pihak
yang memerlukan kerja-sama.
Apa
jaminannya cara komunikasi tersebut tidak membuat Ahok justru dialienasi
sementara banyak proyek Pemprov DKI yang perlu didukung kepolisian…?
Untuk
urusan ERP itu pula, Ahok sempat-sempatnya menyentil soal ‘studi banding’ –
apakah ini yang dituju adalah DPRD…? Ahok bahkan menggampangkan bahwa sistem
tersebut cukup dilihat di Youtube !
Tanggal
19 Feb kemarin, saat sedang berbicara mengenai KJS di RS Husada, Ahok bahkan
menginsinuasikan ‘perut, otak dan dompet’ lebih penting daripada ahlak.
Meskipun
ahlak bukan cuma soal agama, tapi juga lingkungan, upbringing; Ahok nyasar
kemana-mana soal semua pejabat yang disebutnya munafik soal pelaporan harta
kekayaan, soal agama dan politik bahkan tak masalah dianggap kafir no. 1. Juga
menegaskan negara ini tak bisa dipimpin baik-baik, harus diajak berantem.
Peristiwa
terakhir ini menunjukkan secara kasat mata beda antara Jokowi dan Ahok. Apabila
Jokowi adalah negosiator, fasilitator dan mengutamakan komunikasi; semua itu
rupanya dianggap ‘kurang galak’ oleh Ahok yang siap berantem dengan siapa saja.
Membangun kepercayaan itu tidak mudah, Jokowi bekerja keras tidak sehari-dua,
tapi panas setahun usaha Jokowi bisa dihapus hujan sehari komentar tak sedap
dari Ahok.
Duh, capenya jadi Jokowi
Alangkah
sedihnya apabila pemerintahan Jokowi berlalu tanpa greget. Proyek-proyek pada
GARING, nyaring bunyinya tapi tak ada yang berjalan baik. Karena kurang
perencanaan, kurang koordinasi, kurang dukungan. Over-expose.
Sedikit-sedikit
diblow-up ke wartawan; padahal bicara pada regulator, pengambil-keputusan dan
pihak terkait juga belum. Peraturan yang ada tidak dicek dulu apakah benturan atau
tidak.
Makin
banyak proyek diheboh-hebohkan, lalu tak terwujud, akan makin banyak muncul
kata GAGAL. Ini gagal itu gagal. Jokowi juga bisa gagal nyapres 2019.
Dua
pemimpin asyik bicara, pasti akhirnya banyak keselip lidah. Nanti dibuat
sensasi oleh media, timbul blunder yang bikin bingung rakyat.
Dua
pimpinan seperti dua kutub : yang satu hendak merangkul, yang satu sibuk
mengalienasi. Yang satu sibuk nyari teman, yang satu nyari musuh. Yang satu
mencari titik temu, yang satu ngajak berantem. Yang satu santun, yang satu
menyakitkan dalam bertutur. Don’t be cruel. Pemimpin santun bukan berarti
lemah, sopan bukan berarti tak tegas. Be kind. (gts/kmpsna)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar