Ada
banyak hal yang tak kumiiki. Ada banyak cerita yang tak mampu kugoreskan
seperti warna ceritamu. Pun demikian, terlampau banyak kata yang tak mampu
kuucapkan tentangmu, kecuali kau sungguh istimewa!
Senyummu
khas, penuh wibawa. Tampilanmu sederhana tapi mengundang segan. Tak ada titel
dan gelar yang mengitari namamu, tapi selalu saja ada yang menghormatimu
seperti pembesar.
Telapak
tanganmu yang sudah keriput masih tak mampu menutupi guratan tangan bahwa
dahulunya kau pekerja hebat. Begitu nyata kisah yang lukiskan untuk mereka.
Bertahan, berdoa, berusaha dan biarkan Tuhan yang menyelesaikan cerita hidup
ini.
Kau
begitu sering mengunjungi “Rumah” itu. Tiap hari tak luput dirimu bersimpuh di
dalamnya. Bahkan saat pagi buta, bergerimis, gelap nan sepi kau tetap
langkahkan kaki menuju “rumah” itu. Seakan ada kerinduan yang terus memuncak,
tak pernah padam. Ada kekuatan yang kerap tersulut ketika mendatanginya. Tempat
bersujud. Tempat yang mengajarimu kekuatan dan arti hidup ini.
Kita
sering berbicara, berdiskusi satu dengan lainnya. Saat itulah kulihat kau
berubah menjadi sosok seorang kawan, seolah tak ada sekat usia dan status yang
menghalangi alur kalimat yang
bersiliweran di antara kita, meski kutahu bahwa statusmu begitu terhormat. Ada hal
yang selalu membuatku bangga padamu, kau tak pernah malu mengakui kekalahan.
Aku masih
ingat, dan sungguh terlampau sulit ku melupakan, saat tiap pagi buta, kau
membangunkan aku, berucap dengan suara lirih penuh perhatian. Pun demikian
ketika harimu telah menginjak sore, kau masih kerap melakukan itu, seolah
mengabarkan pada kami; “bangunlah, aku kan segera pergi. Suaraku di pagi ini
takkan kau dengar lagi.” Aku rindu. Sungguh. Kemana suara itu kan kudengar lagi?
Suatu
hari kau hadir. Wajahmu begitu cerah dan berseri. Aku tak sanggup menahan
kerinduan yang tengah bersemi, semburatnya memenuhi kubangan asa dan cinta
untuk dapat bersua denganmu. Kusambut kedatanganmu, luluhlah sudah kerinduan
ini. kucium hormat tanganmu, terbanglah semua beban penantian ini. Keupeluk hangat
tubuhmu, menyatulah semua cinta ini.
Kau begitu
berbeda. Ingin rasanya kuberlama-lama di sampingmu. Tapi, fajar telah datang. Bercak-bercak
kilau kemerahan sebentar lagi akan tampak di ufuk. Suara muadzin terdengar, buyarkan
semua mimpi indah itu. Sejurus kemudian kutersadar, kau memang benar-benar
telah pergi selamanya. Subuh ini memang berbeda. Kau tak lagi membangunkan kami
lagi. Kau bahkan tak ikut bersama kami berjamaah di masjid. Subuh yang dingin. Subuh
yang sepi.
Terima kasih
kau telah hadir dalam mimpi ini. Terima kasih telah mengajarkanku arti hidup. Terima
kasih telah membesarkan dan merawatku sejak kecil. Terima kasih atas semua suka
cita yang telah berikan pada kami, anak-anakmu. Kau begitu berharga bagi kami. Aku
hanya ingin sepertimu, Ayah, meski kutahu aku akan sulit untuk itu, karena kau begitu
istimewa.
Benar benar dari hati...
BalasHapusEh, ada kunjungan neh. Makasih :)
Hapus