Catatan Sang Pemimpi - Musim
pemilu 2014 sebentar lagi tiba. Hampir di setiap ruas jalan atau tempat di keramaian
terpajang foto, spanduk dan baliho sang calon pemimpin atau wakil rakyat. Selama
itu pula wajah kota berubah menjadi etalase. Keindahan kotapun terpaksa
dikorbankan demi hajatan politik.
Yah,
itulah fakta menjelang pemilu presiden dan legislatif. Selalu ada cerita di
awal maupun di akhir perhelatan. Cerita tentang pengorbanan, cerita tentang
uang, cerita tentang janji manis sampai pada cerita yang berakhir bahagia dan
sedih atau sukses dan depresi.
Pada
pesta rakyat kali ini, seorang sahabat turut mengambil bagian menjadi seorang
caleg. Sejak beberapa bulan yang lalu beliau sibuk menyiapkan segala sesuatu
yang berhubungan langsung dengan syarat keikutsertaan sebagai calon legislatif.
Ia bahkan rela mengudurkan diri status dan profesinya sebagai guru kontrak
daerah. Resikonya jelas, segala gaji dan tunjangan yang selama ini diberi,
tidak akan ia terima lagi, termasuk tunjangan sebagai guru bersertifkasi.
Sungguh,
apa yang dilakukan sahabat ini mengingatkan saya pada pengalaman di pemilu masa
lalu. Seorang sahabat karib turut mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
Di masa awal sebelum perhelatan rakyat itu dilaksanakan, beliau begitu
bersemangat bersosialisasi kepada masyarakat tentang keikutsertaannya sebagai
peserta (calon) anggota legislatif. Tentu saja hal yang tak mungkin dilupakan
dalam kegiatan itu adalah visi-misi dan janji-janji indah jika ia jadi
terpilih.
Waktu
terus berlalu. Semakin banyak warga terutama kerabat dekatnya yang simpatik
dengan perjuangan sang sahabat. Bahkan di saat-saat akhir menjelang pemilu
dilaksanakan, banyak warga yang menyatakan kesediaan dan kerelaannya untuk
mencoblos nomor urut sang sahabat tadi. Betapa senang dan terharunya beliau.
Ada juga rasa bangga yang menyelinap di hati. Bagaimana tidak, kampenye dan
sosialisasi yang terbilang minim dana ini disambut posiitif oleh masyarakat
pemilih.
Alhasil,
waktu pemilihan tiba. Masa pembuktianpun datang. Namun apa yang diharapkan tak
terwujud. Semua yang dibanggakan hilang. Suara pemilihnya hanya berkisar
ratusan, tak menembus seribu, bahkan setengahnya pun tidak. Sangat kontras
sekali dengan apa yang dialami oleh para pesaingnya yang lebih mengandalkan kekuatan
uang, mampu menembus kisaran ribuan. Dan yang lebih menyedihkan, Ia bahkan
kalah di kampungnya sendiri. Tragis!
Sedih,
tentu iya. Kecewa, memang. Tapi, selalu ada pelajaran berharga yang bisa diambil;
politik dan uang tak mungkin dapat dipisahkan, selalu berjalan beriringan. Jika
hanya berbekal idealisme dan program menarik, nihil rasanya mengharapkan
terpilih sebagai pemenang saat pemilu. Kini sahabat tadi telah menjadi seorang
PNS di kota tetangga.
Melihat
apa yang terjadi pada masa lalu, muncul kekhwatiran hal lampau akan kembali terulang
lagi. Akhh.. sebagai teman, saya hanya turut memberi dukungan dan berdoa semoga
apa yang menjadi harapan sahabat tadi bisa terwujud. Kalah, menang. Terpilih atau
tidak, semoga mampu memberi pelajaran bagi dia dan juga semua orang. Good luck, bro!
Ilustrasi gambar: kissmeguntur.wordpress
Tidak ada komentar:
Posting Komentar